
JAKARTA, Corongpublik// Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat kembali disorot dalam sebuah diskusi yang digelar oleh Forum Mahasiswa Pascasarjana Maluku Utara (FORMAPAS Malut) bersama Anggota DPD RI sekaligus Wakil Ketua I Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) Dr. R. Graal Taliawo, S.Sos., M.Si. (21/80) lalu, Mereka menyoroti urgensi pengesahan RUU yang telah mandek selama 14 tahun di DPR RI tersebut.
Dalam forum tersebut, Dr. Graal Taliawo menegaskan bahwa negara wajib memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap kesatuan hukum adat dan hak-hak tradisional masyarakat adat.
“Negara harus mengakui dan menghormati kesatuan hukum adat sepanjang masih hidup dan selaras dengan perkembangan masyarakat serta prinsip negara kesatuan Indonesia,”tegasnya.
Diskusi ini menyoroti ketidakpastian hukum yang dihadapi masyarakat adat akibat tumpang tindihnya berbagai undang-undang sektoral dari kehutanan, pertambangan, hingga pendidikan yang justru memperparah konflik di lapangan. Masyarakat adat selama ini berada di posisi marjinal, baik dalam aspek ekonomi, hukum, sosial, hingga hak asasi manusia.
Menurut Dr. Graal, harmonisasi antara hukum negara dan hukum adat sangat diperlukan. Tanpa itu, masyarakat adat akan terus menjadi korban konflik wilayah dan kriminalisasi. Ia menambahkan,

“14 tahun RUU ini mandek, tanpa tanda-tanda akan disahkan. Ini memperpanjang derita masyarakat adat atas hak wilayah mereka yang terus diintimidasi dan dirampas.”
FORMAPAS Malut dalam forum ini juga menekankan perlunya peran aktif pemerintah daerah. Mereka mendorong agar pemerintah provinsi Maluku Utara segera menyusun Peraturan Daerah (Perda) yang mengakui dan melindungi masyarakat adat, sebagai langkah konkret di tengah stagnasi legislasi nasional.
Para mahasiswa turut menyampaikan pandangan kritis dari berbagai sudut baik dari sisi hukum, sosial, hingga politik terkait kejelasan muatan pasal dan potensi konflik kepentingan dalam pembahasan RUU tersebut.
Salah satu poin krusial dalam RUU ini adalah syarat pengakuan wilayah adat yang masih dianggap berat bagi masyarakat. RUU mensyaratkan bukti penguasaan atas tanah, hutan, perairan, dan sumber daya alam secara turun-temurun dengan batas wilayah yang jelas hal yang kerap sulit dibuktikan masyarakat adat secara administratif.
“Jika negara mengatur fungsi hutan dan lahan sebagai kawasan lindung, maka masyarakat adat yang tinggal di dalamnya harus diakui dan dilindungi. Tanpa itu, mereka akan terus dianggap sebagai pelanggar di tanah sendiri,”ujar salah satu pengurus FORMAPAS.
Diskusi ini juga menyoroti pentingnya keberpihakan politik dalam proses legislasi. Tanpa semangat untuk memberi kepastian hukum bagi masyarakat adat, RUU ini hanya akan menjadi dokumen formal tanpa keberlanjutan. Padahal, keberadaan masyarakat adat erat kaitannya dengan perlindungan lingkungan dan kelestarian hutan.
Penataan ruang nasional yang kini direvisi lewat berbagai regulasi, seperti RUU Cipta Kerja, harus menyertakan wilayah adat sebagai instrumen utama pengendalian konflik dan kepastian hukum.
RUU Masyarakat Adat bukan hanya soal pengakuan, tapi soal keadilan dan kepastian hukum bagi kelompok masyarakat yang selama ini menjaga hutan dan tanah, namun belum diakui secara utuh oleh negara. Forum FORMAPAS Malut dan Dr. Graal Taliawo mengingatkan bahwa sudah saatnya pemerintah berhenti menunda dan mulai mendengar suara dari akar rumput.(Tim/Red)