TERNATE,Corongpublik.com- Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Pemuda Marhaenis (DPD-GPM) Maluku Utara kembali mendatangi Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara, Senin (26/5/2025), guna mendesak penegakan hukum atas dugaan korupsi berjamaah di tubuh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Kepulauan Sula.
Koordinator aksi, Sartono Halek, dalam orasinya membeberkan adanya indikasi kuat tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan proyek normalisasi kali dari tahun anggaran 2023 hingga 2025 dengan total nilai kontrak mencapai Rp7.093.852.483,61. Menurutnya, sekitar 80 persen dari pekerjaan tersebut diduga fiktif.
“Modusnya sangat sistematis. Mereka hanya mencetak spanduk proyek dan mengambil dokumentasi palsu di lokasi berbeda,” ungkap Sartono di depan Kantor Kejati Maluku Utara.
Dari hasil investigasi lapangan yang dilakukan GPM, pada tahun 2023 terdapat sembilan paket proyek senilai Rp1,6 miliar lebih, sementara tahun 2024 sebanyak 20 paket pekerjaan senilai hampir Rp4 miliar. Untuk 2025, terdapat tujuh paket proyek dengan nilai sekitar Rp1,3 miliar.
“Paket-paket ini tersebar di berbagai desa di Pulau Sulabesi dan Pulau Mangoli. Anehnya, beberapa perusahaan diketahui mengerjakan lebih dari dua proyek di lokasi geografis yang berjauhan dalam waktu bersamaan, yang secara teknis mustahil dilakukan,” tambah Sartono.
Padahal, untuk memindahkan alat berat antar pulau seperti ke Pulau Mangoli, dibutuhkan biaya sewa kapal tongkang yang mencapai Rp100 juta per trayek. Namun dalam beberapa proyek, nilai kontrak hanya berkisar Rp150-200 juta. Hal ini memperkuat dugaan bahwa pekerjaan tidak pernah dilakukan alias fiktif.
GPM Malut juga menyebut nama Kepala Dinas PUPR Kepulauan Sula, Jaunidin Umaternate, yang juga menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), diduga menjadi aktor utama di balik dugaan korupsi ini. Ia disebut meminjam nama perusahaan pihak ketiga hanya untuk kepentingan pencairan dana, kemudian mengerjakan proyek secara pribadi bersama adiknya, Sabarun Umaternate, dan seorang staf honorer bernama Melly.
“Perusahaan yang dipinjam hanya diberi fee sebesar 3 persen dari nilai proyek,” ungkap Sartono.

Tidak hanya itu, GPM juga menyinggung dugaan keterlibatan Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Sula, Muhlis Soamole, yang disebut turut menikmati aliran dana proyek fiktif tersebut.
Atas temuan ini, DPD GPM Malut mendesak agar Polda Maluku Utara dan Kejati segera melakukan penyelidikan terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat, yaitu:
- Jaunidin Umaternate-Kepala Dinas PUPR sekaligus PPK
- Sabarun Umaternate -Adik Kadis
- Melly – Staf honorer
- Muhlis Soamole -Sekretaris Daerah
GPM juga meminta agar penegak hukum memanggil para direktur dari perusahaan yang terlibat dalam proyek-proyek ini, di antaranya:
- Cahaya Alvira
- Awdi Pratama
- Ainur
- Thita Mulia
- Bintang Barat Perkasa
- Permata Membangun
- Permata Hijau
- Permata Bersama
- Nuril Jaya
Terpisah Sartono mendesak , Kejati harus meminta dokumen pekerjaan dan dokumentasi lapangan, dengan dilakukan verifikasi langsung ke lokasi serta meminta keterangan warga desa. GPM menyebutkan sejumlah aturan hukum yang diduga dilanggar dalam praktik ini:
UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 9), Pasal 55 dan 56 KUHP tentang penyertaan dan turut serta dalam tindak pidana, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi indikasi kuat kejahatan terorganisir yang merugikan keuangan negara dan mengorbankan hak rakyat,” tegas Sartono.
GPM menegaskan akan terus mengawal kasus ini hingga ada tindakan hukum nyata terhadap para pihak yang diduga terlibat.
Kadis PUPR Kepulauan Sula belum dapat dikonfirmasi hingga berita ini ditayang
(Jurnalis: Andi/Red)