TERNATE, Corongpublik// Aktivitas tambang PT Karya Wijaya, milik Gubernur Sherly Laos di Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah, tidak henti-hentinya menuai sorotan tajam. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) serta Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan didesak untuk segera memberhentikan sementara seluruh kegiatan perusahaan tersebut.
Desakan ini muncul setelah KKP sebelumnya telah melakukan penyegelan terhadap empat perusahaan tambang yang belum tertib izin, yakni PT Alngit Raya, PT Adita Nikel Indonesia, PT Makmur Jaya Lestari, dan PT Jaya Abadi Semesta. Namun, anehnya, PT Karya Wijaya justru dibiarkan beroperasi meski terindikasi memiliki sejumlah pelanggaran serius.
Ketua Pemuda Solidaritas Merah Putih (PSMP) Maluku Utara, Mudasir Ishak, menegaskan bahwa Polda Maluku Utara tidak boleh tebang pilih dalam menegakkan hukum. Ia menyoroti bahwa polisi kini tengah menyelidiki dugaan pembangunan jetty ilegal milik PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di Halmahera Timur, sementara aktivitas serupa yang dilakukan PT Karya Wijaya di Pulau Gebe justru tidak tersentuh.
“Pembangunan jetty milik PT Karya Wijaya juga patut diselidiki. Mereka diduga kuat tidak memiliki izin reklamasi dan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Jika benar, ini pelanggaran pidana. Hukum jangan pilih kasih,” tegas Mudasir kepada Corongpublik, Jumat (10/10/2025).
Dugaan pelanggaran ini bukan tanpa dasar. Nama PT Karya Wijaya tercantum dalam laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tertanggal 24 Mei 2024, yang menyoroti pengelolaan perizinan pertambangan mineral dan batubara di Kementerian ESDM. Laporan itu menyebut PT KW belum memiliki izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH), belum menempatkan jaminan reklamasi pasca tambang, serta belum mengantongi izin jetty.
Lebih jauh, izin operasi PT Karya Wijaya diterbitkan sejak masa mendiang Gubernur Abdul Gani Kasuba dengan nomor 502/34/DPMPTSP/XII/2020 untuk areal seluas 500 hektare. Pada Januari 2025, perusahaan ini mendapat pembaruan izin dengan luas wilayah bertambah menjadi 1.145 hektare, mencakup dua kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur dan berlaku hingga 2036. Namun di tengah perpanjangan izin itu, PT KW justru terseret sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) dengan PT FBLN karena diduga menambang di wilayah konsesi perusahaan lain.
Pantauan lapangan media ini menunjukkan indikasi kerusakan lingkungan yang kian nyata. Air laut di pesisir Pulau Gebe berubah kecokelatan di sejumlah titik, terutama di sekitar Desa Elfanun dan Desa Kapaleo yang berdekatan dengan jetty PT Karya Wijaya, PT Mineral Trobos, dan PT Smart Marsindo. Kondisi itu diduga kuat akibat tidak adanya sistem sediment pond kolam pengendapan yang seharusnya menahan limpasan air tambang agar tidak langsung mencemari laut.
Akibat kelalaian itu, air bercampur lumpur dari area tambang langsung mengalir ke perairan saat hujan deras, mencemari laut dan mengancam biota pesisir. Warga serta pemerhati lingkungan pun khawatir kerusakan ekosistem akan semakin parah, mengingat wilayah tersebut merupakan sumber kehidupan utama para nelayan Pulau Gebe.
Selain mencederai aspek lingkungan, PT Karya Wijaya juga dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, karena beroperasi di kawasan yang dikategorikan sebagai pulau kecil.
Larangan eksploitasi di wilayah tersebut bahkan telah ditegaskan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023, yang menekankan pentingnya perlindungan pulau kecil dari kerusakan permanen dan menjamin keberlanjutan sumber daya alam bagi generasi mendatang.(Tim/Red)