Oleh: Rinto Taib (Penggagas Museum Kota Pusaka Indonesia & Pengurus DPP PA GMNI)
Aksi massa yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia pada 25-31 Agustus 2025 tidak hanya berdampak pada penjarahan dan pengrusakan di kediaman artis dan politisi hingga menteri kabinet merah putih semata melaikan pula fasilitas publik termasuk pula bangunan cagar budaya (CB) dan koleksi museum yang raib dicuri tanpa diketahui pelaku hingga saat ini.
Kerusakan fasilitas di sejumlah bangunan cagar budaya dan hilangnya koleksi museum di berbagai daerah di Indonesia seperti yang terjadi di Kediri, Surabaya dan Bandung tentu bukanlah sebuah fakta baru dalam perjalanan hidup dan nasib cagar budaya di Indonesia melainkan pernah terjadi berulang kali dalam dinamika politik lokal hingga nasional tatkala massa rakyat merasa resah dan diperhadapkan dengan situasi dimana api amarah mulai melalap sebagai wujud ketidakpuasan atas kebijakan negara, dari aksi demonstrasi hingga kerusuhan bermotif SARA.
Dari peristiwa aksi massa pada Sabtu (30/8) yang terjadi di Surabaya, Gedung Negara Grahadi, rumah dinas Gubernur Jawa Timur sekaligus cagar budaya peringkat nasional yang terbakar akibat terkena lemparan bom molotov hingga Polsek Tegalsari yang juga merupakan tinggalan bangunan kolonial ikut menjadi korban. Tentu bekas kobaran api yang menyisakan tembok hitam berjelaga tersebut tidak sekedar meninggalkan luka fisik pada bangunan melainkan telah meninggalkan luka mendalam atas jejak sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang sangat kita sayangkan bersama.
Tak jauh berbeda dengan di Surabaya, tragedi dunia kebudayaan dan permuseuman Indonesia bernasib pilu dengan aksi penjarahan dan pembakaran Museum Begawanta Bhari di Kediri, sebuah museum daerah yang menyimpan artefak purbakala dan berbagai koleksi berharga dan bernilai sejarah yang tak luput dari aksi pengrusakan serta penjarahan seperti arca Ganesha, batik, plakat dan lain-lain yang rusak dan hilang entah kemana, meskipun nilai ekonomi dari kerugian tersebut belum ditaksir namun peristiwa tersebut merupakan sebuah alarm keras bagi nasib cagar budaya bangsa kita yang tak lain sebagai identitas budaya agung warisan masa lalu. Hal yang sama juga terjadi di Bandung, sebuah bangunan arsitektural kolonial yang tercatat sebagai aset MPR RI turut dibakar massa hingga hangus total karena dianggap tempat persembunyian aparat saat konflik terjadi.
Jika ditelusuri kebelakang, maka nampak bahwa peristiwa tersebut bukanlah hal baru dimana secara kasuistik berpotensi terjadi ditengah aksi demonstrasi dan kerusuhan sosial yang tak terkendalikan. Peristiwa yang sama pernah terjadi saat konflik berlatar SARA dan kerusuhan pada akhir tahun 1999 dan awal tahun 2000 di Ambon (Maluku) dan Ternate (Maluku Utara). Sejumlah bangunan bersejarah hangus terbakar dan hilangnya benda-benda pusaka bernilai sejarah yang dijarah massa. Tak hanya tempat ibadah Klenteng Thian Hou Kiong (dll), bangunan aset kesultanan Ternate (Ngaralamo / ex gedung KNPI) hingga manuskrip serta benda koleksi berusia ratusan tahun hilang tanpa jejak akibat kerusuhan yang terjadi hingga merembet ke beberapa daerah sekitarnya ketika itu.
Salah satu raport merah dan peristiwa kelam dari catatan pahit kerusuhan sosial yang terjadi di Kota Ternate provinsi Maluku Utara ketika itu adalah hilangnya genta Nostra Senhora del Rosario yang kemudian ditemukan di tempat jual beli barang antik di pulau Jawa dan berhasil dikembalikan ke Ternate dan tersimpan dengan baik saat ini di Gereja Batu atau Gereja Santo Willibrordus Ternate, sebuah gereja ummat Katolik yang didirikan oleh Pastor Francis Khan pada tahun 1603.
Realitas ini menegaskan kepada kita setiap tentang gejolak sosial yang mengantarkan situasi terjadinya kerusuhan sosial yang ikut berdampak pada nasib dan keberlangsungan cagar budaya dimana ikut menjadi korban tatkala lemahnya pengamanan dan upaya mitigasi kebencanaan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki otoritas. Rapuhnya perlindungan cagar budaya tersebut turut diperparah pula oleh minimnya kesadaran kolektif masyarakat atas nilai penting tinggalan sejarah dan warisan nilai budaya bangsa kita yang seharusnya dirawat dan dijaga selaku penjaga warisan agung dari para leluhur bangsa kita sekaligus memori kolektif bangsa dari perjalanan panjang sejarah dan peradabannya.
Kita berharap semoga peristiwa serupa tidak lagi terulang dan terjadi atas alasan apapun, oleh siapapun dan dimanapun di Indonesia. Tangisan pilu dan wujud keprihatinan bersama kita atas peristiwa yang terjadi tak sekedar sebagai wujud kesedihan melainkan kesadaran kolektif untuk menjaga dan merawat jejak sejarah dan peradaban dengan perlindungan ekstra ditengah situasi konflik. Peristiwa kelam dan tragedi ini semoga menjadikan kita semakin sadar akan pentingnya warisan sejarah dan nilai budaya bangsa bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan maasa depan generasi bangsa kita tercinta, karena tanpa itu semua maka sungguh kita tidah sekedar kehilangan warisan masa lalu melainkan pula kehilangan pijakan untuk melangkah maju ke masa depan yang semakin berat tentunya.
Kita juga berharap semoga pasca tragedi ini, pihak terkait segera melakukan perlindungan ekstra bagi bangunan cagar budaya melalui langkah-langkah dan upaya pelestarian dengan program pemulihan dan restorasi guna mengembalikan keasliannya. Selain itu juga semoga ada kesadaran untuk mengembalikan koleksi koleksi museum yang dijarah atau sengaja diamankan bagi masa depan dan keberlangsungan museum khususnya dan identitas budaya bangsa kita tercinta.