Tambang di Pulau Kecil, Ketegasan Prabowo Dipertanyakan di Maluku Utara

91

TERNATE, Corongpublik// Dugaan aktivitas tambang ilegal di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku Utara, kembali menjadi langganan kritikan tajam dari publik. Banyak pihak menilai keberadaan perusahaan tambang di pulau kecil tersebut sebagai bentuk pembiaran, bahkan dianggap sebagai tamparan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang gencar menertibkan tambang ilegal.

Ketua Pemuda Solidaritas Merah Putih (PSMP) Maluku Utara, Mudasir Ishak, menilai aktivitas pertambangan nikel di Pulau Gebe sangat membahayakan masyarakat dan lingkungan sekitar. Menurutnya, tambang di wilayah kecil seperti Gebe memiliki dampak ekologis yang besar, mulai dari pencemaran air hingga kerusakan tanah dan keanekaragaman hayati.

Mudasir mempertanyakan sikap aparat penegak hukum (APH) yang dinilainya terkesan membiarkan praktik tambang ilegal di wilayah tersebut. Ia menegaskan, jika pembiaran ini benar terjadi, maka hal itu bisa mencederai wibawa Presiden Prabowo Subianto, yang tengah menggaungkan perang terhadap tambang-tambang ilegal di seluruh Indonesia.

“Aktivitas pertambangan di pulau kecil ini sedang menguji komitmen dan wibawa Presiden Prabowo,” ujar Mudasir kepada Corong Publik, Selasa (7/10/2025). Ketegasan Prabowo dalam membasmi tambang ilegal harus dibuktikan, bukan hanya menjadi slogan politik.

Ia menambahkan, sebagian besar perusahaan tambang yang beroperasi di Pulau Gebe diduga kuat belum memenuhi kriteria Clear and Clean (CnC) syarat administrasi dan legalitas yang menjadi standar resmi dari pemerintah. Beberapa di antaranya disebut berasal dari perusahaan seperti PT Kraya Wijaya dan PT Anugrah Sukses Mining (ASM).

Lebih lanjut, Mudasir membeberkan bahwa dampak aktivitas tambang telah terlihat nyata. Pada Selasa kemarin, air laut di pesisir Gebe berubah kecoklatan akibat sedimentasi dari kegiatan pertambangan.

“Itu bukti kerusakan nyata yang mulai dirasakan masyarakat,” tegasnya.

Selain tidak memiliki status CnC, lanjut Mudasir yang akrab disapa Dace perusahaan-perusahaan tersebut juga disinyalir belum menempatkan jaminan reklamasi dan pascatambang. Bahkan proses penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) diduga tidak melalui mekanisme pelelangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Menurutnya, aktivitas tambang yang dilakukan tanpa dasar hukum yang kuat dan tanpa jaminan lingkungan akan menimbulkan kerusakan fatal.

“Jika kegiatan ini terus meluas hingga ke seluruh area konsesi, maka pencemaran air, udara, hingga erosi tanah dan hilangnya keanekaragaman hayati hanya tinggal menunggu waktu,” ujarnya.

Mudasir juga memperingatkan bahwa perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan administratif dan lingkungan berpotensi menyebabkan kerugian negara. Ia menegaskan, lemahnya pengawasan pemerintah membuka celah bagi praktik-praktik ilegal yang berpotensi merugikan kepentingan publik.

“Apalagi jika perusahaan tambang tidak memiliki rencana reklamasi dan pascatambang, serta IUP nya tidak melalui proses lelang resmi. Itu jelas melanggar hukum dan berisiko besar bagi masyarakat serta lingkungan,”sambungnya.

Ia menilai, eksploitasi tambang di pulau kecil bukan hanya pelanggaran aturan, tetapi juga pengkhianatan terhadap masa depan generasi mendatang.

“Sumber daya alam bukan untuk dijarah, tetapi untuk dikelola secara berkelanjutan demi kemakmuran rakyat,”tegas Dace.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat luas Pulau Gebe mencapai 224 kilometer persegi, berbatasan langsung dengan Kepulauan Raja Ampat. Pulau ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Gebe dan terbagi menjadi empat desa Sanafi, Kacepi, Umera, dan Omnial.

Menutup keterangannya, Mudasir menyerukan agar Presiden Prabowo Subianto segera memerintahkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama aparat penegak hukum untuk menelusuri seluruh proses perizinan tambang di Pulau Gebe.

“Negara tidak boleh kalah oleh kepentingan korporasi. Ini saatnya Presiden membuktikan ketegasan yang selama ini dijanjikan,”pungkasnya. (Tim/Red)