Tiga Mata Anggaran R-APBD 2026 Malut, Era Sherly-Sarbin Dianggap Boros dan Tidak Pro Rakyat

25

TERNATE, Corongpublik// Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (R-APBD) Maluku Utara Tahun Anggaran 2026 kembali menuai sorotan tajam publik. Di bawah kepemimpinan Gubernur Sherly Tjoanda Laos dan Wakil Gubernur Sarbin Sehe, tiga mata anggaran dinilai membengkak dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat, melainkan lebih berorientasi pada kenyamanan birokrasi.

Ketiga pos tersebut meliputi anggaran makan dan minum, anggaran kebutuhan komunikasi pimpinan, dan belanja pegawai yang melonjak hingga melampaui batas ideal yang ditetapkan undang-undang.

Sorotan publik pertama tertuju pada anggaran rumah tangga gubernur, khususnya pos makan dan minum yang dianggarkan sebesar Rp 14 miliar. Jika dibagi rata, angka itu setara dengan Rp 39 juta per hari atau Rp 1,17 miliar per bulan, hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kepala daerah.

Meski Kepala BPKAD Maluku Utara Ahmad Purbaya menyebut telah ada pemangkasan dari era sebelumnya yang mencapai Rp 21 miliar untuk gubernur dan Rp 18 miliar untuk wakil gubernur namun publik tetap mempertanyakan urgensi angka sebesar itu di tengah kondisi fiskal daerah yang tengah menurun.

Kenaikan mencolok juga terjadi pada anggaran kebutuhan komunikasi gubernur, yang dialokasikan sebesar Rp 11,4 miliar dan tersebar di tiga unit organisasi Sekretariat Daerah, Biro Umum, dan Biro Administrasi Pimpinan.

Rinciannya terdapat pada Sekretariat Daerah mencatat belanja barang dan jasa fasilitas komunikasi pimpinan sebesar Rp 5,85 miliar.

Biro Umum menganggarkan dua kegiatan utama, yakni penyiapan materi komunikasi pimpinan (Rp 1,44 miliar) dan fasilitas komunikasi pimpinan (Rp 3,76 miliar). Sementara Biro Administrasi Pimpinan menerima porsi Rp 1,3 miliar dengan nomenklatur serupa.

Jika ditotal bersama belanja komunikasi lintas unit lainnya, kebutuhan komunikasi pimpinan diperkirakan menghabiskan Rp 25,4 miliar per tahun. Angka fantastis ini sontak menuai kritik masyarakat, yang menilai bahwa dana tersebut tidak mencerminkan efisiensi di tengah keterbatasan fiskal daerah.

Pos paling kontroversial lainnya adalah belanja pegawai yang disebut memanjakan birokrasi dibanding memenuhi kebutuhan publik. Dalam R-APBD 2026, belanja pegawai mencapai 57 persen dari total anggaran, jauh di atas batas ideal 30 persen sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).

Nominalnya pun naik signifikan dari Rp 1,165 triliun menjadi Rp 1,258 triliun. Kondisi ini dinilai berpotensi menghambat transfer dana dari pemerintah pusat karena melanggar ambang batas rasional belanja pegawai.

Di sisi lain, anggaran pelayanan publik dan pembangunan justru mengalami pemangkasan besar-besaran, memperkuat persepsi bahwa kebijakan fiskal di era Sherly-Sarbin tidak berpihak pada kepentingan masyarakat luas.

Rancangan APBD Maluku Utara Tahun Anggaran 2026 mencatat penurunan drastis hingga Rp 2,7 triliun, dari Rp 3,3 triliun pada 2025 menjadi Rp 2,6 triliun. Penurunan tersebut disebabkan oleh defisit sebesar Rp 23,2 miliar serta pemangkasan dana transfer ke daerah sebesar Rp 806 miliar.

Jika pengelolaan anggaran ini tidak segera diperbaiki, para pengamat menilai Maluku Utara berpotensi menghadapi perlambatan pertumbuhan ekonomi, stagnasi pembangunan infrastruktur, dan melemahnya daya serap belanja publik di tahun politik 2026.

Tiga mata anggaran besar yang kini jadi sorotan memperlihatkan pola pengelolaan keuangan daerah yang belum sepenuhnya efisien dan transparan. Di tengah menurunnya kapasitas fiskal, publik menuntut evaluasi menyeluruh terhadap R-APBD 2026 agar dana publik tidak tersedot untuk kebutuhan birokrasi dan seremonial, melainkan benar-benar menyentuh sektor produktif dan pelayanan masyarakat.

—Tim/Red—