Tunjangan DPRD Naik Saat PAD Anjlok : SKAK-MALUT Desak KPK Bongkar Anomali Anggaran Malut

17

JAKARTA, Corongpublik// Tekanan terhadap penegakan hukum di Maluku Utara kembali menguat. Sentral Koalisi Anti Korupsi Maluku Utara Jakarta (SKAK-MALUT-JKT) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera turun tangan menyelidiki dugaan penyimpangan anggaran di Sekretariat DPRD Provinsi Maluku Utara pada periode 2019-2024. SKAK menilai terjadi anomali serius dalam politik anggaran, terutama pada puncak krisis ekonomi pandemi Covid-19.

Koordinator aksi, Reza Asyadik, menyebut bahwa pada masa 2020-2022, ketika pandemi menekan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Transfer Pusat, hingga roda ekonomi Maluku Utara, DPRD justru mempertahankan bahkan menaikkan tunjangan operasional dan rumah tangga hingga Rp 60 juta per anggota per bulan. Langkah itu dianggap tidak hanya mencerminkan krisis moral elite daerah, tetapi juga mengindikasikan penyimpangan kebijakan anggaran.

Padahal, PP Nomor 18 Tahun 2017 Pasal 8 ayat (2) secara tegas mensyaratkan bahwa penetapan tunjangan anggota DPRD harus mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah.

“Keputusan menaikkan tunjangan di tengah penurunan fiskal adalah bentuk abai terhadap regulasi sekaligus pembangkangan terhadap akuntabilitas anggaran,” tegas Reza.

Di sisi lain, Kejaksaan Tinggi Maluku Utara telah memeriksa sejumlah figur penting seperti mantan Ketua DPRD Kuntu Daud, mantan Ketua Komisi I Iqbal Ruray, serta mantan Kabag Umum DPRD Zulkifli Biaan (kini Kepala BKD Malut). Namun, hingga saat ini Sekretaris DPRD, Abubakar Abdullah, belum tersentuh pemeriksaan, meski memegang posisi strategis dalam alur keluar-masuk anggaran.

SKAK-MALUT-JKT menilai KPK perlu memprioritaskan pemanggilan Abubakar guna memastikan transparansi pengelolaan APBD. Organisasi ini juga menyoroti besaran tunjangan perumahan dan transportasi pimpinan serta anggota DPRD yang mencapai Rp 29,832 miliar untuk perumahan dan Rp 16,2 miliar untuk transportasi, angka yang dinilai tidak sebanding dengan kondisi fiskal daerah saat pandemi.

“Sekretariat DPRD telah menjadi ruang gelap yang minim kontrol publik, sehingga rawan praktik penyimpangan sistematis,” ujar Reza.

Persoalan makin kompleks dengan rangkap jabatan yang dilakukan Abubakar Abdullah sebagai Sekwan DPRD sekaligus Plt. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku Utara. Praktik ini dinilai melanggar PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, yang secara eksplisit melarang ASN menduduki dua jabatan struktural sekaligus karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

SKAK-MALUT-JKT menyebut rangkap jabatan tersebut sebagai cerminan kerusakan struktural birokrasi di bawah kepemimpinan Gubernur Sherly Djuanda, yang dinilai gagal menjaga prinsip good governance.

“Ketika etika kepemimpinan runtuh, korupsi bukan lagi kejahatan individu, tetapi menjelma sebagai kejahatan sistem,” kata Reza.

Mereka juga menegaskan bahwa situasi ini memberi dasar kuat bagi KPK untuk mengaktifkan mandat sesuai UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, khususnya dalam mengambil alih kasus jika penanganan di daerah berjalan lambat. Mereka mendorong Ketua KPK Setyo Budyanto menjadikan dugaan penyimpangan anggaran DPRD Malut sebagai pintu masuk pembongkaran praktik korupsi yang selama ini bersembunyi di balik mekanisme birokrasi.

“Dugaan korupsi legislatif kini merembet ke lini birokrasi dengan pola berlapis. Ini wajah lain dari krisis moral kekuasaan di Maluku Utara,” tegasnya.

Dalam aksinya SKAK-MALUT juga membawa tuntutan dengan tegas KPK segera melakukan penyelidikan dan audit investigatif terhadap pengelolaan keuangan di DPRD Provinsi Maluku Utara dan Sekretariat DPRD, termasuk memanggil serta memeriksa Sekwan Abubakar Abdullah.

KPK melakukan supervisi langsung terhadap Kejati Maluku Utara untuk memastikan proses hukum transparan, objektif, dan bebas intervensi politik.

Pihaknya juga meminta Evaluasi menyeluruh terhadap rangkap jabatan dan pelanggaran disiplin ASN di lingkungan Pemerintah Provinsi Maluku Utara.

—Tim/Red—