TIDORE, Corongpublik// Suasana ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Soasio mendadak tegang pada Rabu (8/10/2025), saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komang Noprizal membacakan tuntutan terhadap 11 warga adat Maba Sangaji yang didakwa menghalangi aktivitas pertambangan PT Position di wilayah Maba, Kabupaten Halmahera Timur.
Dalam tuntutannya, JPU menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), karena dianggap menghambat operasional perusahaan tambang tersebut.
“Meminta kepada majelis hakim agar menjatuhkan pidana kurungan selama enam bulan terhadap sepuluh terdakwa, dikurangi masa penahanan yang telah dijalani,”tegas Komang di ruang sidang PN Soasio.
Berdasarkan berkas perkara Nomor 99/Pid.Sus/2025/PN Sos, sepuluh terdakwa yang dituntut masing-masing enam bulan penjara adalah Sahrudin Awat, Jamaludin Badi, Allauddin Salamudin, Indrasari Ilham, Salasa Muhammad, Umar Manado, Julkadri Husen, Nahrawi Salahuddin, Yasir Hi. Samad, dan Hamin Jamal.
Sedangkan dalam perkara Nomor 108/Pid.Sus/2025/PN Sos, terdakwa Sahil Abubakar dituntut tujuh bulan penjara. Tiga terdakwa lain Indrasani Ilham, Alauddin Salamudin, dan Nahrawi Salamuddin masing-masing dituntut empat bulan penjara. JPU juga meminta seluruh terdakwa tetap ditahan hingga adanya putusan hukum tetap.
“Menjatuhkan pidana kurungan terhadap terdakwa Sahil Abubakar selama tujuh bulan dan terhadap tiga terdakwa lainnya masing-masing empat bulan, dikurangi masa penahanan sementara,”ujar Komang menutup pembacaan tuntutan.
Namun, tuntutan tersebut langsung menuai reaksi keras dari Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (TAKI). Kuasa hukum masyarakat adat, Wetub Toatubun, menilai kasus ini sebagai bentuk nyata kriminalisasi terhadap perjuangan warga yang mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman eksploitasi tambang.
“Dalam persidangan tidak ditemukan fakta hukum yang membuktikan bahwa sebelas masyarakat adat Maba Sangaji bersalah sebagaimana pasal yang disangkakan,”tegas Wetub. Ia menilai Pasal 162 UU Minerba kerap dijadikan alat pembungkam bagi warga penolak tambang di berbagai daerah.
Menurutnya, kasus ini mencerminkan ketimpangan hukum di mana negara tampak berpihak pada kepentingan modal dan mengabaikan penderitaan rakyat di tanahnya sendiri.
“Apa yang terjadi pada masyarakat Maba Sangaji adalah bentuk ketidakadilan hukum. Negara seolah berpihak pada modal dan menutup mata terhadap penderitaan rakyat,” ujarnya lantang.
Sementara itu, pandangan ahli turut disinggung dalam persidangan. Mengutip penjelasan Dr. Phil Geger Riyanto, dosen Antropologi Universitas Indonesia, dalam unggahan KaderaDotId, konsep Indigenous People (masyarakat adat) telah dibahas sejak 1980 an oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Menurut Geger, masyarakat adat memiliki keterikatan mendalam terhadap wilayah hidupnya mencakup tanah, laut, dan sumber daya air serta memiliki kontinuitas sejarah yang sudah ada jauh sebelum terbentuknya negara modern.
“Saya percaya, jika bicara tentang masyarakat Maba, mereka telah hadir bahkan sebelum Belanda mendirikan negara kolonial di wilayah yang kini disebut Indonesia,” tutup Geger. (Tim/Red)