TERNATE, Corongpublik// Pemilihan Wakil Gubernur Maluku Utara, Sarbin Sehe, sebagai Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Maluku Utara periode 2025-2029, memantik polemik di kalangan pemerhati olahraga. Langkah Sarbin dinilai bertentangan dengan ketentuan hukum yang melarang pejabat publik menduduki jabatan struktural di organisasi olahraga.
Padahal, beberapa jam sebelum pemilihan dalam Musyawarah Olahraga Provinsi Luar Biasa (Musorprovlub)KONI Maluku Utara di Hotel Sahid Bela Ternate, Rabu (15/10/2025), Gubernur Sherly Juanda Laos dalam pidatonya menegaskan agar KONI tidak dijadikan alat politik praktis.
“Jangan jadikan KONI sebagai alat politik. Politik sudah punya ruangnya sendiri. KONI harus menjadi wadah untuk melahirkan bibit terbaik Maluku Utara di bidang olahraga dan menjadi pemersatu daerah ini,” tegas Sherly di hadapan peserta forum.
Namun, pesan moral Gubernur itu justru berbalik arah. Tak lama setelah pidatonya, forum Musorprovlub berlanjut ke agenda pemilihan ketua umum, dan nama Sarbin Sehe muncul sebagai calon tunggal. Ia pun terpilih secara aklamasi tanpa pemungutan suara, disahkan oleh pimpinan sidang meski sempat terjadi perdebatan di antara peserta.

Beberapa pihak menilai hasil pemilihan itu mencederai prinsip netralitas dan etika organisasi olahraga. Mantan Ketua Umum KONI Halmahera Selatan, Samsudin Sidik, menilai langkah Sarbin menabrak aturan hukum yang jelas melarang pejabat publik merangkap jabatan di organisasi olahraga.
Menurut Samsudin, larangan tersebut diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN). “Ketentuan ini telah diuji ke Mahkamah Konstitusi dan dinyatakan sah, karena bertujuan menghindari konflik kepentingan serta menjaga profesionalisme dalam pengelolaan organisasi olahraga” ujarnya, Jumat (17/10/2025).
Ia mengingatkan, Mahkamah Konstitusi pernah menolak gugatan uji materi terhadap pasal tersebut dalam perkara yang diajukan oleh dua tokoh publik Saleh Ismail Mukadar, Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur sekaligus Ketua KONI Surabaya, dan Syahrial Oesman, Gubernur Sumatera Selatan yang juga Ketua KONI setempat. “Keduanya menilai aturan itu diskriminatif, tetapi MK menegaskan bahwa larangan tersebut justru untuk mencegah penyalahgunaan jabatan,” kata Samsudin.
Lebih jauh, ia menjelaskan meskipun regulasi olahraga telah diperbarui dengan UU Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan, prinsip kemandirian dan netralitas pengurus KONI tetap dipertahankan melalui norma transisi Pasal 106, yang menyatakan peraturan lama tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan baru.
“Pengurus KONI harus bersifat mandiri dan bebas dari jabatan publik agar terhindar dari konflik kepentingan. Kalau pejabat publik juga jadi penerima manfaat anggaran hibah olahraga, maka risiko penyalahgunaan kewenangan sangat besar,” tegasnya.
Samsudin menambahkan, prinsip larangan rangkap jabatan juga sejalan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) KONI, yang menekankan nilai profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas.”Musorprovlub harus mempertimbangkan aspek legalitas dan etika agar kepengurusan KONI benar-benar independen dan bebas dari intervensi politik,”tandasnya.
Pasca terpilihnya Sarbin, sejumlah pengamat menilai langkah politik wakil gubernur itu bukan sekadar urusan olahraga, melainkan bagian dari strategi memperluas pengaruh politiknya di kalangan masyarakat olahraga jelang kontestasi politik berikutnya.
“Langkah ini akan menjadi ujian integritas sistem keolahragaan daerah. Jika KONI dikuasai pejabat publik, maka batas antara olahraga dan politik akan semakin kabur,” pungkas Samsudin.(Tim/Red)